Jumat, 05 Oktober 2012

makalah tafsir tarbawi


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Amin…
                Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tafsir Tarbawi yang diasuh oleh Bapak H.Uria Hasnan,Lc,M.Pd.I. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Uria yang selaku dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Etika Orang yang Berilmu ini.
              Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin...



Banjarmasin, Maret 2012


                                                                                                  Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan kalamullah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang  zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Ajaran dan petunjuk tersebut amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya. Salah satu pokok ajaran al-quran adalah etika orang yang telah dianugerahi ilmu pengetahuan.
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap berbagai ajaran moral. Menurut Muslih (1998) etika adalah analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk menentukan suatu tindakan itu benar atau salah, dan ukuran salah atau benar tersebut kemudian dirujuk menjadi nilai-nilai, moral, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang telah memiliki sejumlah ilmu pengetahuan juga memiliki etika yang harus dipatuhi.
Oleh karena itu penulis akan membahas tentang etika tersebut dengan merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quran sebagai pedoman kita umat Islam. Makalah ini memuat tafsir beberapa ayat dalam alquran yang berkaitan dengan etika bagi seseorang yang telah dilimpahi dengan ilmu pengetahuan, yaitu QS. Al A’la: 9, QS. Al Hajj: 73, QS. Ash shaf: 2-3, QS. Al Ahzab: 21.





BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA ORANG YANG BERILMU

A.    Q.S AL-‘ ALA (87) : 9
öÏj.xsù bÎ) ÏMyèxÿ¯R 3tø.Ïe%!$# ÇÒÈ  
9. oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,[1]

·         Penjelasan
Kata (ﺇﻦ) in yang pada firman-Nya: ( ) in nafa’at al-dzikra biasa difahami sebagai syarat dan atas dasarnya ia diterjemahkan dengan apabila. Tetapi kalau demikian, maka apakah seandainya peringatan yang dimaksud diduga tidak akan bermanfaat, maka peringatan tidak atau “tidak ada yang menyampaikan kepada kami”. Mereka antara lain menguatkan pendapat diatas dengan firman Allah (dalam Q.S An-Najm [53]: 29):

“Maka berpalinglah dari orang-orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi”.[2]
Perintah berpaling pada ayat tersebut bukan dalam arti tidak memberi peringatan kepada mereka, tetapi berpaling dalam arti tidak menghiraukan cemoohan dan gangguan yang sering mereka lakukan. Sebagai seorang yang berilmu, da’i hendaknya tidak berputus asa ataau bosan dalam menyampaikan pengajarannya, dan atas dasar itu, pendapat diatas sebaiknya tidak dianut.
Sementara ulama menyisipkan kalimat maupun tidak bermanfaat pada ayat diatas, sehingga pada akhirnya perintah memberikan peringatan mencakup semua orang. Ada juga yang memahami kata in dalam arti sebab. Memang dakwah atau ajakan kepada kebaikan pasti mendatangkan manfaat, kalau bukan objek atau sasaran dakwah, maka paling tidak terdapat pelaku yang menyampaikan dakwah tersebut.
Disisi lain, apakah seorang dai dapat mengetahui secara pasti bahwa dakwah dan peringatan itu akan bermanfaat atau tidak? Agaknya tidak seorang pun dapat memastikan hal tersebut, karena boleh jika anda member peringatan kepada seseorang dengan dugaan bahwa peringatan tersebut bermanfaat tetapi justru tidak, demikian juga sebaliknya. Terkadang hanya kalimat singkat yang diucapkan sepintas lalu atau sikap sederhana yang diperagakan, tetapi ia berdampak sangat besar bagi yang mendengar atau melihatnya bila” Hatinya sedang terluka”. Jika demikian, maka seorang dai harus selalu optimis tentang keberhasilan dakwahnya dan karena dia tidak mengetahui secara pasti apakah dakwahnya akan bermanfaat atau tidak, maka yang dituntut dirinya adalah berdakwah, memberi peringatan disertai dengan rasa optimisme yang tinggi.
B.     Q.S AL- HAJJ (22) : 73
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããôs? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs $\$tèŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o Ü>$t%!$# $\«øx© žw çnräÉ)ZtFó¡o çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$# Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ 

73. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.


·          Penjelasan
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa tidak ada sedikit pun alasan dan dalil untuk menyembah Allah, kini dijelaskan bahwa sembahan-sembahan kaum musyrikin sungguh hina dan remeh, tidak wajar disembah, apalagi diduga akan mampu menghalangi akan jatuhnya siksa Allah atas para penyembahnya.
Ayat diatas menyatakan: hai manusia kususnya kaum musyrikin, telah dibuat oleh Allah suatu perumpamaan yakni kami akan menampakkan satu hal yang aneh didepan mata kalian, maka dengarkanlah perumpamaan yakni keanehan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru yakni kamu sembah dan seru untuk memenuhi keinginanmu yang selain Allah yakni yang bermacam-macam itu bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat yang remeh dan hina itu merampas sesuatu sedikit atau banyak dari mereka yakni sesembahan itu, -bahkan dari manusia- seperti merampas wewangian yang kamu letakkan diwajah patung-patung itu, atau sesaji yang kamu mempersembahkan untuk mereka, maka tiadalah mereka dapat merebutnya kembali darinya yakni dari lalat itu. Amat lemahlah yang meminta dan berusaha untuk merebutnya kembli, yakni yanh disembah atau yang menyembah, dan amat lemaah pula yang dimintai yakni lalat atau sembahan-sembahan itu. Karena itu bagaimana seorang manusia bakal menyembah atau mengharap manfaat dari sembahan-sembahan selain Allah?
Kaum musyrikin yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu itu, mereka pada hakikatnya tidak mengagungkaan Allah dengan sebenar-benar keagungan-Nya. Betapa tidak demikian, padahal merekan mempersekutukan-Nya dengan ssesuatu yanh lebih remeh daripada apa yang mereka nilai remeh,itu lalat. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat untuk menciptakan segala sesuatu lagi maha perkasa tidak terkalahkan oleh siapapun dan tidak pula berbendung kehendak-Nya oleh apapun.
Ayat ini merupakan ayat yang paling jelas dank eras kecamannya kepada kaum musyrikin yang menyembah berhala-berhala. Dan disini tuhan-tuhan yang mereka sembah, yang mestinya-jika dia benar-benar tuhan-pasti memiliki kekuatan dan kemampuan, justru digambarkan oleh ayat diatas, tidak memiliki sedikit kemampuan pun walau membela dirinya sendiri. Inilah adab orang yang telah diberi ilmu yang seharusnya tidak menyembah tuhan-tuhan yang tidak memiliki kekuatan serta tidak menyombongkan diri
C.    Q.S al- Kahfi (18) ;72
tA$s% óOs9r& ö@è%r& š¨RÎ) `s9 yìÏÜtGó¡n@ zÓÉëtB #ZŽö9|¹ ÇÐËÈ  
72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".

·         Penjelasan
Q. S Al-kahfi :72 ini adalah penggalan kisah Nabi Musa dan seorang hamba Allah yang shalih. Mereka melakukan perjalanan menumpangi sebuah perahu. Sebelum meraka melakukan perjalanan Nabi Musa telah berjanji untuk bersabar untuk tidak bertanya jika beliau melihat hal-hal yang dilakukan hamba Allah tadi tidak sejalan dengan pendapat beliau atau bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada beliau. Hamba Allah yang saleh itu berkata: “maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau ucapkan sampai bila tiba waktunya nanti aku sendiri menerangkannya kepadamu”. Demikian hamba yang saleh itu menetapkan syarat keikutsertaan Nabi Musa as.
Namun dalam perjalanan Nabi Musa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang apa yang dilakukan oleh orang saleh tersebut sehingga pada akhirnya Nabi Musa dan orang saleh tersebut berpisah.
Ini merupakan tiang utama penopang keberhasilan dakwah. Seorang da’i pasti akan mendapatkan gangguan dalam dakwahnya. Orang-orang musrik akan bangkit menghadang dan menentang dakwahnya. Demikian juga jika menjelaskan tentang wajibnya berpegang dengan Sunnah dan meninggalkan bid’ah, maka ahli bid’ah akan merintanginya, baik dengan ucapan ataupun tindakan yang ditujukan pada dirinya ataupun pada dakwahnya. Lihatlah kesabaran pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian juga para rasul sebelum Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka sabar menghadapi pahit getirnya berdakwah dan tantangan yang dihadapi, sebagaimana dilukiskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya :

 وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ
 اللّهِ

 "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah" [Al An'am:34]

 Sabar mempunyai kedudukan yang tinggi, tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengambil sebabnya. Di antaranya, yaitu dengan mengingat betapa besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta'ala siapkan bagi hambaNya yang bersabar.

 إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
 "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas". [Az Zumar:10]




D.    Q.S. AS- SHAF ( 61)2-3
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ   uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.[3]
·         Penjelasan
Allah SWT. menegur keras orang beriman dan aktivis dakwah yang mengatakan apa yang tidak diperbuat, bahkan Allah SWT. sangat membencinya. Karena aktivitas yang dominan dilakukan para da’i adalah dakwah yang banyak menggunakan ucapan. Sehingga ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik. Sehingga kejujuran adalah modal utama berikutnya bagi para da’i.
Dan kejujuran harus dilakukan para da’i dalam dakwahnya. Jujur dalam menyampaikan risalah Islam, jujur dalam bersikap dan jujur dalam berkata-kata. Salah satu ajaran Islam yang terpenting adalah jihad dan berperang melawan musuh Allah. Tetapi kita menyaksikan banyak para penceramah yang sudah dikenal oleh orang banyak dengan sebutan ustadz atau kyai dan sebutan lainnya tidak jujur dalam menyampaikan Islam. Mereka tidak berani menyampaikan jihad, dan kalaupun menyampaikan kata jihad, maka dibatasinya dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Atau semua bentuk jihad disebutkan, kecuali jihad dalam memerangi musuh Allah, baik musuh Allah itu Yahudi, Kristen maupun orang kafir lainnya.
Kejujuran dalam berkata dan bersikap merupakan keharusan bagi setiap muslim apalagi para kader dan pemimpin dakwah yang menyampaikan nilai-nilai Islam. Para kader dakwah tidak boleh memiliki standar ganda dalam perkataan dan sikap. Karena standar ganda akan merusak barisan dakwah dan menggagalkan perjuangannya. Syuro’ yang dilakukan Rasulullah saw. sebelum perang Uhud merupakan sikap kejujuran yang paling baik yang terjadi pada diri Rasul dan sahabatnya. Ketika terjadi musyawarah sebagian besar sahabat menghendaki peperangan dilakukan di luar Madinah, sementara Rasulullah saw. cenderung peperangan dilakukan di Madinah. Pendapat Rasul diikuti sahabat lain, tetapi mayoritas sahabat terutama para pemuda yang belum ikut perang Badar menghendaki perang dilakukan diluar Madinah. Akhirnya, Rasulullah saw. mengikuti pendapat mayoritas dan perang dilakukan diluar Madinah. Dan Rasulullah saw. memimpin langsung perang tersebut. Demikianlah, kejujuran adalah bagian dari prinsip bagi kader dan pemimpin dakwah dalam aktivitas dakwahnya.

E.     Q.S. al- Ahzab ( 33) -21

ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ   
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

·         Penjelasan
Sesungguhnya norma yang tinggi dan teladan yang baik itu telah ada di hadapan kalian, seandainya kalian menghendakinya. Yaitu hendaknya kalian mencontoh Rasulullah saw.[4]
Di antara akhlaq dan sifat yang sepantasnya –bahwa wajib- dimiliki oleh para da’i adalah : Mengamalkan apa yang ia dakwahkan, dan ia harus bisa menjadi teladan yang baik dalam apa yang ia dakwahkan. Janganlah ia termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu namun ia tidak mengerjakannya, atau melarang dari sesuatu namun ternyata dia melanggarnya. Ini merupakan kondisi orang-orang yang merugi. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian.
Adapun kaum mukminin yang beruntung, yaitu para da’i kepada al-haq, maka mereka mengamalkan apa yang ia dakwahkan, bersemangat di dalamnya dan bersegera melaksanakannya, serta benar-benar menjauh dari apa yang telah ia larang.
Telah shahih hadits, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallâm bersabda : “Didatangkan seorang pria pada Hari Kiamat kemudian dilemparkan ke An-Nâr (neraka). Maka berhamburanlah isi perutnya. Maka dia berputar-putar di dalamnya seperti berputarnya keledai secara melingkar. Maka penduduk neraka mengerumuninya, dan bertanya kepadanya : ‘Wahai fulan, kenapa engkau? Bukankah dulu engkau melakukan amar ma’ruf nahi munkar?’ Dia menjawab : Benar. Dulu aku menyuruh kalian kepada yang ma`ruf namun aku sendiri tidak mengerjakannya,dan aku melarang kalian dari kemunkaran namun justru aku sendiri melanggarnya.”
Inilah kondisi orang yang berdakwah ke jalan Allah, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan melarang dari yang munkar, namun dia sendiri justru ucapannya berbeda dengan perbuatannya, dan perbuatannya tidak sama dengan yang ia katakan. Kita berlindung kepada dari sifat yang demikian.
Maka di antara akhlaq terpenting dan terbesar yang harus dimiliki oleh seorang da’i adalah : mengamalkan apa yang ia dakwahkan, meninggalkan apa yang ia larang, dan hendaknya dia memiliki akhlaq yang utama, prilaku yang baik, sabar dan senantiasa sabar, ikhlash dalam dakwahnya, dan serius dalam menyampaikan kepada kepada manusia dan menjauhkan mereka dari kebatilan. Bersama dengan itu, tidak lupa ia mendo’akan umat agar mendapat hidayah. Ini termasuk akhlaq yang mulia, mendo’akan dengan hidayah, mengatakan kepada mad’u (objek dakwah) : ’semoga Allah memberimu hidayah, semoga Allah memberi taufiq untuk menerima al-haq, semoga Allah membantumu untuk menerima al-haq.[5]
           












BAB III
PENUTUP

            SIMPULAN
                        Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1.      Orang yang berilmu mempunyai kewajiban untuk menyampaikan apa yang ia pelajari dan memberi peringatan dengan ilmunya tersebut
2.      Orang yang berilmu seharusnya tidak merasa tidak sombong dengan ilmu yang ia miliki
3.      Dalam memberikan pengajaran, seseorang harus mempunyai kesabaran yang tinggi, karena yang ia hadapi bukan saja orang yang dengan senang ahti menerima, tetapi juga orang-orang yang menolak bahkan menghalang-halangi dakwahnya
4.      Ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik.
5.      Harus menjadi suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga bukan termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya; mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya.


DAFTAR PUSTAKA


 Abu Bakar, Rohadi. 1986. Terjemah Asbabun Nuzul. Semarang: Wicaksana-Berkah Illahi

Al Mahalliy, Jalaludin. Tanpa tahun.  Tafsir  jalalain.  

Al Maraghi, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al Maraghi. Semarang: CV.Toha Putera

Depag RI. 2005. Alquranulkarim

Jalaludin,Imam. Tanpa tahun. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru

Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah. Bandung: Lentera Hati





[1] Al quranulkarim, Depag RI,2005, hal: 591
[2]  M. Quraish shahih, Tafsir Al Mishbah, Lentera Hati Bandung, 2002, hal: 212-214
[3] Jalaludin- Al Mahalliy, Tafsir  jalalain,
[4] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Almaraghi, 1989, hal: 277
[5] http://almanhaj.or.id/content/2565/slash/0