KATA PENGANTAR
Segala
puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat-Nya jualah
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut
beliau hingga akhir zaman. Amin…
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tafsir Tarbawi yang diasuh oleh
Bapak H.Uria Hasnan,Lc,M.Pd.I. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Uria yang selaku dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi yang telah memberikan arahan kepada penulis
dalam menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Etika Orang yang Berilmu” ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin...
Banjarmasin, Maret 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan merupakan kalamullah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan
akhirat kelak. Ajaran dan petunjuk tersebut amat dibutuhkan oleh manusia dalam
mengarungi kehidupannya. Salah satu pokok ajaran al-quran adalah etika orang
yang telah dianugerahi ilmu pengetahuan.
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap
berbagai ajaran moral. Menurut Muslih (1998) etika adalah analisis kritis
mengenai tindakan manusia untuk menentukan suatu tindakan itu benar atau salah,
dan ukuran salah atau benar tersebut kemudian dirujuk menjadi nilai-nilai,
moral, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang telah memiliki
sejumlah ilmu pengetahuan juga memiliki etika yang harus dipatuhi.
Oleh karena itu penulis akan membahas tentang etika tersebut dengan
merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quran sebagai pedoman kita umat Islam. Makalah
ini memuat tafsir beberapa ayat dalam alquran yang berkaitan dengan etika bagi
seseorang yang telah dilimpahi dengan ilmu pengetahuan, yaitu QS. Al A’la: 9,
QS. Al Hajj: 73, QS. Ash shaf: 2-3, QS. Al Ahzab: 21.
BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA ORANG YANG BERILMU
A.
Q.S AL-‘ ALA
(87) : 9
öÏj.xsù bÎ) ÏMyèxÿ¯R 3tø.Ïe%!$# ÇÒÈ
9. oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfaat,[1]
·
Penjelasan
Kata (ﺇﻦ) in yang pada firman-Nya:
( ) in nafa’at al-dzikra biasa difahami sebagai syarat dan atas dasarnya ia
diterjemahkan dengan apabila. Tetapi kalau demikian, maka apakah seandainya
peringatan yang dimaksud diduga tidak akan bermanfaat, maka peringatan tidak atau
“tidak ada yang menyampaikan kepada kami”. Mereka antara lain menguatkan
pendapat diatas dengan firman Allah (dalam Q.S An-Najm [53]: 29):
“Maka berpalinglah dari orang-orang yang berpaling dari peringatan
kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi”.[2]
Perintah berpaling pada ayat tersebut bukan dalam arti tidak memberi
peringatan kepada mereka, tetapi berpaling dalam arti tidak menghiraukan
cemoohan dan gangguan yang sering mereka lakukan. Sebagai seorang yang berilmu,
da’i hendaknya tidak berputus asa ataau bosan dalam menyampaikan pengajarannya,
dan atas dasar itu, pendapat diatas sebaiknya tidak dianut.
Sementara ulama menyisipkan kalimat maupun tidak bermanfaat pada
ayat diatas, sehingga pada akhirnya perintah memberikan peringatan mencakup
semua orang. Ada juga yang memahami kata in dalam arti sebab. Memang dakwah
atau ajakan kepada kebaikan pasti mendatangkan manfaat, kalau bukan objek atau
sasaran dakwah, maka paling tidak terdapat pelaku yang menyampaikan dakwah
tersebut.
Disisi lain, apakah seorang dai dapat mengetahui secara pasti bahwa
dakwah dan peringatan itu akan bermanfaat atau tidak? Agaknya tidak seorang pun
dapat memastikan hal tersebut, karena boleh jika anda member peringatan kepada
seseorang dengan dugaan bahwa peringatan tersebut bermanfaat tetapi justru
tidak, demikian juga sebaliknya. Terkadang hanya kalimat singkat yang diucapkan
sepintas lalu atau sikap sederhana yang diperagakan, tetapi ia berdampak sangat
besar bagi yang mendengar atau melihatnya bila” Hatinya sedang terluka”. Jika
demikian, maka seorang dai harus selalu optimis tentang keberhasilan dakwahnya
dan karena dia tidak mengetahui secara pasti apakah dakwahnya akan bermanfaat
atau tidak, maka yang dituntut dirinya adalah berdakwah, memberi peringatan
disertai dengan rasa optimisme yang tinggi.
B.
Q.S AL- HAJJ
(22) : 73
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# z>ÎàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó$$sù ÿ¼ã&s! 4 cÎ) úïÏ%©!$# cqããôs? `ÏB Èbrß «!$# `s9 (#qà)è=øs $\$tè Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o Ü>$t%!$# $\«øx© w çnräÉ)ZtFó¡o çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$# Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ
73. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah (pulalah) yang disembah.
·
Penjelasan
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa tidak ada sedikit pun
alasan dan dalil untuk menyembah Allah, kini dijelaskan bahwa sembahan-sembahan
kaum musyrikin sungguh hina dan remeh, tidak wajar disembah, apalagi diduga akan
mampu menghalangi akan jatuhnya siksa Allah atas para penyembahnya.
Ayat diatas menyatakan: hai manusia kususnya kaum musyrikin, telah
dibuat oleh Allah suatu perumpamaan yakni kami akan menampakkan satu hal yang
aneh didepan mata kalian, maka dengarkanlah perumpamaan yakni keanehan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru yakni kamu sembah dan seru untuk memenuhi
keinginanmu yang selain Allah yakni yang bermacam-macam itu bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat yang remeh dan hina itu merampas sesuatu sedikit
atau banyak dari mereka yakni sesembahan itu, -bahkan dari manusia- seperti
merampas wewangian yang kamu letakkan diwajah patung-patung itu, atau sesaji
yang kamu mempersembahkan untuk mereka, maka tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali darinya yakni dari lalat itu. Amat lemahlah yang meminta dan berusaha
untuk merebutnya kembli, yakni yanh disembah atau yang menyembah, dan amat
lemaah pula yang dimintai yakni lalat atau sembahan-sembahan itu. Karena itu
bagaimana seorang manusia bakal menyembah atau mengharap manfaat dari
sembahan-sembahan selain Allah?
Kaum musyrikin yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu itu,
mereka pada hakikatnya tidak mengagungkaan Allah dengan sebenar-benar
keagungan-Nya. Betapa tidak demikian, padahal merekan mempersekutukan-Nya
dengan ssesuatu yanh lebih remeh daripada apa yang mereka nilai remeh,itu
lalat. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat untuk menciptakan segala
sesuatu lagi maha perkasa tidak terkalahkan oleh siapapun dan tidak pula
berbendung kehendak-Nya oleh apapun.
Ayat ini merupakan ayat yang paling jelas dank eras kecamannya
kepada kaum musyrikin yang menyembah berhala-berhala. Dan disini tuhan-tuhan
yang mereka sembah, yang mestinya-jika dia benar-benar tuhan-pasti memiliki
kekuatan dan kemampuan, justru digambarkan oleh ayat diatas, tidak memiliki
sedikit kemampuan pun walau membela dirinya sendiri. Inilah adab orang yang
telah diberi ilmu yang seharusnya tidak menyembah tuhan-tuhan yang tidak
memiliki kekuatan serta tidak menyombongkan diri
C.
Q.S al- Kahfi
(18) ;72
tA$s% óOs9r& ö@è%r& ¨RÎ) `s9 yìÏÜtGó¡n@ zÓÉëtB #Zö9|¹ ÇÐËÈ
72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".
·
Penjelasan
Q.
S Al-kahfi :72 ini adalah penggalan kisah Nabi Musa dan seorang hamba Allah
yang shalih. Mereka melakukan perjalanan menumpangi sebuah perahu. Sebelum
meraka melakukan perjalanan Nabi Musa telah berjanji untuk bersabar untuk tidak
bertanya jika beliau melihat hal-hal yang dilakukan hamba Allah tadi tidak
sejalan dengan pendapat beliau atau bertentangan dengan apa yang telah
diajarkan kepada beliau. Hamba Allah yang saleh itu berkata: “maka janganlah
engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau
ucapkan sampai bila tiba waktunya nanti aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Demikian hamba yang saleh itu menetapkan syarat keikutsertaan Nabi Musa as.
Namun
dalam perjalanan Nabi Musa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya tentang
apa yang dilakukan oleh orang saleh tersebut sehingga pada akhirnya Nabi Musa
dan orang saleh tersebut berpisah.
Ini merupakan tiang utama penopang keberhasilan dakwah. Seorang
da’i pasti akan mendapatkan gangguan dalam dakwahnya. Orang-orang musrik akan
bangkit menghadang dan menentang dakwahnya. Demikian juga jika menjelaskan
tentang wajibnya berpegang dengan Sunnah dan meninggalkan bid’ah, maka ahli
bid’ah akan merintanginya, baik dengan ucapan ataupun tindakan yang ditujukan
pada dirinya ataupun pada dakwahnya. Lihatlah kesabaran pada diri Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian juga para rasul sebelum Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka sabar menghadapi pahit getirnya
berdakwah dan tantangan yang dihadapi, sebagaimana dilukiskan Allah Subhanahu
wa Ta'ala dalam firmanNya :
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ
رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى
أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ
اللّهِ
"Dan sesungguhnya telah didustakan (pula)
rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan
penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami
terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah" [Al An'am:34]
Sabar mempunyai kedudukan yang tinggi, tidak
mungkin dicapai kecuali dengan mengambil sebabnya. Di antaranya, yaitu dengan
mengingat betapa besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta'ala siapkan bagi
hambaNya yang bersabar.
إِنَّمَا يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas". [Az Zumar:10]
D.
Q.S. AS- SHAF (
61)2-3
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 cqä9qà)s? $tB w tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uã92 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB w cqè=yèøÿs? ÇÌÈ
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
3. Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.[3]
·
Penjelasan
Allah SWT. menegur keras orang beriman dan aktivis dakwah yang
mengatakan apa yang tidak diperbuat, bahkan Allah SWT. sangat membencinya.
Karena aktivitas yang dominan dilakukan para da’i adalah dakwah yang banyak menggunakan
ucapan. Sehingga ucapan itu harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan
yang tidak sesuai dengan perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan
sifat munafik. Sehingga kejujuran adalah modal utama berikutnya bagi para da’i.
Dan kejujuran harus dilakukan para da’i dalam dakwahnya. Jujur
dalam menyampaikan risalah Islam, jujur dalam bersikap dan jujur dalam
berkata-kata. Salah satu ajaran Islam yang terpenting adalah jihad dan
berperang melawan musuh Allah. Tetapi kita menyaksikan banyak para penceramah
yang sudah dikenal oleh orang banyak dengan sebutan ustadz atau kyai dan
sebutan lainnya tidak jujur dalam menyampaikan Islam. Mereka tidak berani
menyampaikan jihad, dan kalaupun menyampaikan kata jihad, maka dibatasinya
dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Atau semua
bentuk jihad disebutkan, kecuali jihad dalam memerangi musuh Allah, baik musuh
Allah itu Yahudi, Kristen maupun orang kafir lainnya.
Kejujuran dalam berkata dan bersikap merupakan keharusan bagi setiap
muslim apalagi para kader dan pemimpin dakwah yang menyampaikan nilai-nilai
Islam. Para kader dakwah tidak boleh memiliki standar ganda dalam perkataan dan
sikap. Karena standar ganda akan merusak barisan dakwah dan menggagalkan
perjuangannya. Syuro’ yang dilakukan Rasulullah saw. sebelum perang Uhud
merupakan sikap kejujuran yang paling baik yang terjadi pada diri Rasul dan
sahabatnya. Ketika terjadi musyawarah sebagian besar sahabat menghendaki
peperangan dilakukan di luar Madinah, sementara Rasulullah saw. cenderung
peperangan dilakukan di Madinah. Pendapat Rasul diikuti sahabat lain, tetapi
mayoritas sahabat terutama para pemuda yang belum ikut perang Badar menghendaki
perang dilakukan diluar Madinah. Akhirnya, Rasulullah saw. mengikuti pendapat mayoritas
dan perang dilakukan diluar Madinah. Dan Rasulullah saw. memimpin langsung
perang tersebut. Demikianlah, kejujuran adalah bagian dari prinsip bagi kader
dan pemimpin dakwah dalam aktivitas dakwahnya.
E.
Q.S. al- Ahzab
( 33) -21
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
·
Penjelasan
Sesungguhnya norma yang tinggi dan teladan yang baik itu telah ada
di hadapan kalian, seandainya kalian menghendakinya. Yaitu hendaknya kalian
mencontoh Rasulullah saw.[4]
Di antara akhlaq dan sifat yang sepantasnya –bahwa wajib- dimiliki
oleh para da’i adalah : Mengamalkan apa yang ia dakwahkan, dan ia harus bisa
menjadi teladan yang baik dalam apa yang ia dakwahkan. Janganlah ia termasuk
orang yang mengajak kepada sesuatu namun ia tidak mengerjakannya, atau melarang
dari sesuatu namun ternyata dia melanggarnya. Ini merupakan kondisi orang-orang
yang merugi. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian.
Adapun kaum mukminin yang beruntung, yaitu para da’i kepada al-haq,
maka mereka mengamalkan apa yang ia dakwahkan, bersemangat di dalamnya dan
bersegera melaksanakannya, serta benar-benar menjauh dari apa yang telah ia
larang.
Telah shahih hadits, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallâm
bersabda : “Didatangkan seorang pria pada Hari Kiamat kemudian dilemparkan ke
An-Nâr (neraka). Maka berhamburanlah isi perutnya. Maka dia berputar-putar di
dalamnya seperti berputarnya keledai secara melingkar. Maka penduduk neraka
mengerumuninya, dan bertanya kepadanya : ‘Wahai fulan, kenapa engkau? Bukankah
dulu engkau melakukan amar ma’ruf nahi munkar?’ Dia menjawab : Benar. Dulu aku
menyuruh kalian kepada yang ma`ruf namun aku sendiri tidak mengerjakannya,dan
aku melarang kalian dari kemunkaran namun justru aku sendiri melanggarnya.”
Inilah kondisi orang yang berdakwah ke jalan Allah, memerintahkan
kepada yang ma’ruf, dan melarang dari yang munkar, namun dia sendiri justru
ucapannya berbeda dengan perbuatannya, dan perbuatannya tidak sama dengan yang
ia katakan. Kita berlindung kepada dari sifat yang demikian.
Maka di antara akhlaq terpenting dan terbesar yang harus dimiliki
oleh seorang da’i adalah : mengamalkan apa yang ia dakwahkan, meninggalkan apa
yang ia larang, dan hendaknya dia memiliki akhlaq yang utama, prilaku yang
baik, sabar dan senantiasa sabar, ikhlash dalam dakwahnya, dan serius dalam
menyampaikan kepada kepada manusia dan menjauhkan mereka dari kebatilan.
Bersama dengan itu, tidak lupa ia mendo’akan umat agar mendapat hidayah. Ini
termasuk akhlaq yang mulia, mendo’akan dengan hidayah, mengatakan kepada mad’u
(objek dakwah) : ’semoga Allah memberimu hidayah, semoga Allah memberi taufiq
untuk menerima al-haq, semoga Allah membantumu untuk menerima al-haq.[5]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari
pemaparan di atas dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1.
Orang yang
berilmu mempunyai kewajiban untuk menyampaikan apa yang ia pelajari dan memberi
peringatan dengan ilmunya tersebut
2.
Orang yang
berilmu seharusnya tidak merasa tidak sombong dengan ilmu yang ia miliki
3.
Dalam memberikan
pengajaran, seseorang harus mempunyai kesabaran yang tinggi, karena yang ia
hadapi bukan saja orang yang dengan senang ahti menerima, tetapi juga
orang-orang yang menolak bahkan menghalang-halangi dakwahnya
4.
Ucapan itu
harus diselaraskan dengan perbuatan. Karena ucapan yang tidak sesuai dengan
perbuatan dan kenyataan adalah dusta yang merupakan sifat munafik.
5.
Harus menjadi
suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga bukan
termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya;
mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Rohadi. 1986. Terjemah
Asbabun Nuzul. Semarang: Wicaksana-Berkah Illahi
Al Mahalliy, Jalaludin. Tanpa tahun. Tafsir
jalalain.
Al Maraghi, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al Maraghi. Semarang:
CV.Toha Putera
Depag RI. 2005. Alquranulkarim
Jalaludin,Imam. Tanpa tahun. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar
Baru
Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah. Bandung: Lentera
Hati